>

Kamis, 02 Agustus 2012

Antara Lapar Bandwidth dan Semangat Berbagi

Jakarta - Rencana pemerintah menggelar lelang 3G untuk dua blok tersisa tak kunjung terlaksana. Padahal, okupansi jaringan 3G di operator telah mencapai 90% dan diyakini tak akan sanggup lagi menampung beban trafik yang terus bertambah, khususnya jelang Lebaran nanti.

"3G janjinya akan segera konsultasi publik. Sudah sampai awal Agustus tapi belum ada tanda-tanda dokumen seleksi akan dikonsultasikan ke publik. Publik menunggu karena trafik sudah padat, dan sebentar lagi Hari Raya," sesal Heru Sutadi, peneliti dari Indonesia ICT Institute , Kamis (2/8/2012).

Seperti diketahui, empat operator 3G telah menyatakan minatnya untuk ikut beauty contest memperebutkan blok 11 dan 12 di spektrum 2,1 GHz, yakni Telkomsel, XL Axiata, Axis Telekomunikasi Indonesia, dan Hutchison CP Telecom (Tri).

Menurut Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dokumen lelang beauty contest 3G masih terus disiapkan oleh Direktorat Sumberdaya dan Perangkat Pos Informatika Kementerian Kominfo.

Namun, tak ada yang bisa memastikan lelang 3G bisa dilakukan sebelum Lebaran. Sebab menurut anggota BRTI Nonot Harsono, lelang dengan beauty contest bisa memakan waktu lebih lama dibanding lelang biasanya.

"Kita semua juga ingin cepat dan sedang ngebut. Yang dipersiapkan bukan sekadar melepas blok 11 dan 12, tapi juga persiapan penataan pasca 'kontes kecantikan' itu agar bisa segera termanfaatkan. Beda dengan lelang harga yang cuma kuat-kuatan duit, tapi aturan main tata caranya tak perlu rumit," jelasnya.

Lapar Bandwidth

Lelang 3G kali ini memang lebih lama dari perkiraan awal. Sudah setengah tahun lebih terkatung-katung dan tak pernah ada kepastian. Kondisi 'lapar bandwidth' ini ternyata turut berimbas kepada business plan operator.

Penghentian kerjasama roaming nasional antara XL dan Axis salah satu contohnya. "Keterbatasan frekuensi memang membuat susah active sharing," sesal Heru.

Roaming nasional antaroperator adalah kondisi dimana pelanggan dari operator tertentu bisa menggunakan jasanya di area yang belum dijangkau oleh operator tersebut karena adanya kerjasama dengan penyedia jaringan lainnya.

Adanya kerjasama yang dijalin XL dan Axis membuat pelanggan Axis bisa mendapat akses penuh ke jaringan XL di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, sejak 1 Januari 2010. Diakui, roaming ini merupakan terobosan baru di industri telekomunikasi nasional.

Saat kerjasama ini diumumkan, banyak yang mengingatkan tentang masalah keterbatasan frekuensi XL di 2G dan 3G. XL di 2G menggunakan frekuensi 900 MHz dan 1.800 MHz dengan lebar pita masing-masing 7.5 MHz. Sementara di 3G, XL hanya memiliki pita 10 MHz di 2,1 GHz.

Dengan jumlah pelanggan yang terus tumbuh, banyak yang khawatir kualitas layanan XL bisa turun karena kapasitas menipis. Sebab, Axis juga sedang agresif masuk ke pelosok area dengan mengklaim jaringannya sudah nasional.

Active Sharing

Saat ini XL memiliki 46 juta pelanggan, sementara Axis sekitar 17 juta pelanggan. Angka ini melesat sejak kerjasama diluncurkan dua tahun lalu. Terlepas dari itu semua, ada pelajaran penting yang bisa diambil dari kerjasama ini.

Pertama, XL memperlihatkan ke industri bahwa kerjasama tidak hanya bisa dilakukan terhadap passive network, tetapi juga ke active network. Andai saja XL tidak memiliki keterbatasan frekuensi, tentu kerjasama ini masih bisa dijalankan.

Kedua, masalah efisiensi investasi. Model kerjasama ini menjadikan tidak terjadi pemborosan investasi. Axis tak perlu harus membangun jaringan di semua area dan berkesempatan untuk belajar medan perang yang akan dimasuki.

Jika benar-benar potensial, tentu jaringan sendiri akan dibangun. Sedangkan di sisi XL, tidak ada kapasitas yang idle, sehingga pembangunan radio tak sia-sia.

Fenomena berbagi infrastruktur sudah terjadi di Inggris antara operator T-Mobile dengan Three untuk mobile broadband dengan mengkonsolidasikan jaringan 3G milik keduanya sekitar 12.400 sites melalui pendirian Joint Ventures.

Aksi keduanya menjadikan mampu menawarkan layanan 3G terbaik di negeri itu dengan biaya termurah dan roll out jaringan lebih cepat. Dalam dua tahun bisa memiliki kapasitas 49 juta pelanggan yang normalnya itu dilakukan selama 5-6 tahun.

Terakhir dari sisi aturan. Pemerintah harus mulai mempersiapkan aturan yang lebih jelas menghadapi fenomena active sharing. KM No 20/2001 dan Fundamental Technical Plan (FTP), atau komitmen pembangunan jaringan dan kualitas layanan ke pelanggan belumlah cukup untuk menjadi payung hukum.

Pasalnya, secara teknis terdapat sumber daya publik yang turut diperjual-belikan dalam kesepakatan roaming nasional yaitu spektrum frekuensi radio, sehingga ada potensi bagi negara untuk menambah pundi-pundinya.

"Kondisi industri yang makin tipis margin keuntungannya tentu membuka ruang konsolidasi dalam active sharing. Jadi kalau ada penambahan frekuensi, kebutuhan semacam ini layak diprioritaskan," pungkas Heru.

Source : http://inet.detik.com/read/2012/08/02/135308/1981389/328/antara-lapar-bandwidth-dan-semangat-berbagi?i991102105

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar